Menantang Dinginnya Air Terjun Bedengan
Assalamualaikum,
Terakhir kali saya menikmati segarnya air terjun sekitar tiga tahun lalu. Saat menikmati indahnya masa-masa muda di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Nanti akan ada cerita edisi spesial saya saat kuliah S1.
=====================
Perjalanan kali ini sangat berkesan bagi saya. Bisa menghabiskan malam bersama teman-teman seperjuangan. Memang tidak semua yang bisa ikut serta, tapi ini sungguh momen berharga bagi saya. Saya adalah tipe orang yang sangat suka menyimpan kenangan. Dalam bentuk foto, video, ataupun sekadar tulisan. Bagi saya, waktu yang terlewat bisa diulang dengan cara itu.
Sepakat dengan acara kemah di Desa Wisata Bedengan, kami berempat (saya, Richard, Nisa, dan Rizki) membagi tugas dari menuju perjalanan hingga pulang nanti. Saya sebagai perintis mempersiapkan keperluan kemah seperti tenda dan lain-lain. Nisa menjadi orang yang bertanggung jawab masalah konsumsi. Richard menjadi sosok pencari kayu bakar, sedangkan Rizki menjadi perlengkapan alias melengkapi kekurangan dari kami bertiga.
Pukul empat sore kami berangkat menuju lokasi. Bumi Perkemahan Bedengan ini berlokasi tidak jauh dari kampus kami. Cukup menempuh perjalanan sekitar 15 menit. Perjalanan menjadi sangat menyenangkan karena ditemani matahari senja dan melewati perkebunan jeruk milik warga sekitar. Dari kiri dan kanan banyak warga yang menawarkan wisata petik jeruk di kebun mereka dengan bebas. Cukup membayar sekitar 25 ribu per orang, pengunjung sudah bisa memetik jeruk hingga ke akarnya. Tapi jangan dilakukan.Untuk jalur yang dilewati cukup bervariasi. Pertama kita melewati jalan beraspal, lalu berbatu, hingga mau memasuki area perkemahan kita harus sedikit menanjak melewati jalur tanah. Tentu, bila musim hujan akan sedikit licin.
Setelah berkeliling menggunakan motor, kami akhirnya memutuskan untuk membangun tenda di samping sungai. Tanahnya cukup lapang dan dikelilingi pohon pinus sehingga melindungi kami jika ada angin kencang. Tidak terasa sesaat setelah tenda terbangun matahari sudah berganti peran dengan bulan. Kumandang adzan magrib dari kejauhan mengisi suasana hangat malam itu.
Hanya suara air mengalir, burung hantu, dan tawa kami yang mengisi lokasi kemah kala itu. Walaupun malam minggu, di sini tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga tenda lagi selain kami tepat di seberang sungai. Richard sebagai pengepul kayu dengan cekatan membuat api sebagai pengahangat dan tempat nanti kami mengolah daging ayam dari Nisa.
Dokumentasi itu perlu, agar bisa mengulang waktu-waktu yang telah berlalu. Malam minggu saat itu sangat berkualitas. Tidak ada yang sibuk dengan smartphone-nya. Semua terbuka, bercerita keluh-kesah, pengalaman, hingga cerita percintaan. Ayam yang telah masak sempurna, kami padukan dengan mie instan. Sungguh makanan yang dimakan bersama itu sangat nikmat rasanya.
Namun, kegembiraan malam itu harus kami tunda sejenak. Hujan yang lama tidak menampakkan kehadirannya, malam itu akhirnya datang juga. Ritual makan-makan kami lanjutkan dalam tenda berukuran 1,5 x 1,5. Walaupun hujan, kami tetap merasa hangat. Hangatnya kebersamaan, kekeluargaan, dan kejujuran. Tidak ada rasa kantuk, dan kami tidak mau melewati malam yang sempurna ini hanya dengan tidur.
Tak terasa pagi pun tiba. Aroma tanah basah setelah hujan menjadi penambah stamina. Api kembali menyala, mata sudah terbuka sepenuhnya, air mengalir dengan kencang memanggil kami untuk bersilaturrahmi. Perlahan tapi pasti, helai demi helai pakaian saya tanggalkan, menyisakan celana pendek abu-abu. Saatnya menantang dingin air Bedengan.
Saya dan Richard saja dengan bodohnya mencelupkan diri di air yang suhunya mencapai 13 derajat celcius. Ditambah lagi saat itu masih ada gerimis yang menyertai. Alhasil setelah 30 menit bermain air, badan saya mulai mengigil, gejala hipotermia. Ya saya pernah mengalami hipotermia saat mendaki gunung pertama kali. Tetapi akhirnya bisa menaklukkan puncak Merbabu.
Setelah selesai bersih-bersih, kami memasak bahan makanan yang masih tersisa. Setelahnya kami membersihkan sampah dan merapikan kembali tenda kami. Pulang ke peraduan masing-masing. Ini adalah liburan kami setelah setahun menyelesaikan dua semester yang cukup berat. Ada yang pulang kampung, ada yang sibuk dngan kerjaannya. Sementara saya, sibuk dengan menyusun jadwal dan destinasi perjalanan selanjutnya. Menurut saya hidup hanya sekali, maka akan saya sempatkan mendengar keinginan dari hati nurani. Tunggu saja petualangan saya selanjutnya.
Liburan bukanlah tentang jauhnya perjalanan, tetapi di mana pun itu asalkan kita bisa melepas semua kepenatan. Terima Kasih
Bonus Video Dokumentasi:
Komentar