Assalamualaikum...
Apa kabar pembaca? Mudahan sehat selalu. Amin
Jadi dulu, saya sangat heran dengan kakak saya yang kuliah S2 di Jogja kenapa setiap minggu selalu bisa jalan-jalan. Karena saya pikir kuliah S2 akan sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk bersantai. Dia bilang, kalau mau tau ya nanti coba lanjut juga kuliah S2 dan rasakan sendiri sensasinya. Alhamdulillah saya ada rejeki dan orang tua saya masih sanggup untuk membiayai kuliah saya lagi. Tetapi berbeda dengan kakak saya yang kuliah di Jogja, saya memilih Kota Malang sebagai pelabuhan pengalaman saya selanjutnya.
Ternyata apapun yang saya pikirkan tentang iklim perkuliahan S2 itu salah. Di sini saya merasa sangat dilayani oleh pihak dosen. Berbeda kala saya kuliah S1 yang dosen menjadi satu-satunya pihak yang membuat lingkungan perkuliahan menjadi sangat tidak nyaman. Ah sudahlah, semua pasti ada hikmahnya.
Tau gak sih? semester kali ini kuliah saya hanya dua hari saja. Tetapi tetap saja arus ke kampus setiap pagi setiap hari untuk ke perpustakaan karena sudah masuk fase penyusunan penelitian tesis. Akibatnya, beberapa kali rasa jenuh menyerang. Karena Kota Malang terkenal dengan objek wisatanya yang melimpah, kenapa tidak saya mencoba mengunjungi salah satunya. Akhirnya saya mencoba untuk menghasut teman-teman saya untuk mengikuti hasrat saya untuk mencicipi indahnya alam Malang. Dari ribuan, menjadi ratusan, menyusut menjadi puluhan, belasan, akhirnya terpilihlah satu tempat yang kami anggap pas untuk sejenak meninggalkan hiruk-pikuk perkotaan.
Wisata Kampung Emen atau Wiken yang terletak di pinggiran kabupaten Malang. Tidak banyak yang mengetahui letak tempat eksotis ini karena belum setahun dibuka. Hanya anak Malang sejati yang berkesempatan mengunjunginya. Saya dan keempat teman saya menempun perjalanan kurang lebih 45 menit dari kota dan beristirahat di Tajinan untuk sholat dan makan sembari menunggu hujan reda. Ya, hujan. Kami terpaksa berhenti selama 2 jam untuk melanjutkan perjalanan. Karena sudah tidak sabar, kami merelakan tubuh sehat kami terkena rintikan hujan yang tak kunjung usai. Dari Tajinan ke Kampung Wiken memakan waktu kurang lebih 40 menit. Kering, basah, kering, dan basah lagi tubuh kami tak menyurutkan tekad untuk sampai ke tempat yang konon sangat indah.
|
Nasib jadi fotografer, teman punya foto keren, eh kita cuma punya foto selfie.
|
Benar saja. tempatnya sangat indah. Ribuan pohon pinus yang menjulang tinggi serta hijau memanjakan mata dan suasana hati kami. Cuaca yang sangat dingin mengharuskan kami harus selalu aktif bergerak.
|
Saya (berjaket jingga), Nissa (jilbab biru), Hany (wanita bertopi), Calon Nyonya Saragih (wanita yang bersembunyi), Bos Riski (pria ganteng berbaju biru) |
Sontak ekspresi gembira terpancarkan di wajah kami. Perjuangan menembus hujan, terhantam batu kerikil, terciprat kubangan dibayar dengan setimpal. Rasanya ingin berlama-lama di sini sambil ngobrol dan menikmati kopi hangat. Yah susah menggambarkan kebahagiaan kecil kami saat itu. Cukup lihat foto-foto di bawah ini, semoga pembaca juga dapat mengunjungi tempat ini bersama orang yang disayangi.
|
Celana Hany sampai sobek-sobek menandakan kerasnya perjalanan kami |
|
Yeay, asik kan? |
|
Sumpah, foto ini ngeselin banget. Semoga yang ambil foto ini jadi orang baik. |
|
Ya benar sekali. Mereka protes kepada saya kenapa di foto terlihat gendut. Please mau difoto dari bulan juga kalian memang gendut. |
|
Solusinya, biar tidak terlihat gendut mereka harus foto sambil ditutupi oleh semak belukar. |
|
Siapa yang minta difoto? siapa yang ambil foto? siapa yang ah bingung menggambarkan fenomena yang satu ini |
Bonus Foto Prewedding Keluarga Saragih
Sekian dulu ceritanya. Saya mau tidur.
Komentar