Bukan Petualang tapi Wisatawan
Assalamualaikum
Sejak beberapa minggu terakhir, media sosial saya banyak memuntahkan foto-foto di berbagai tempat yang cukup menarik.
"Lalu apakah saya bisa disebut seorang petualang atau hanya wisatawan?"
=====================
Petualang adalah jabatan yang memiliki beban cukup berat. Seorang petualang dalam membagikan ceritanya harus disertai dengan aturan-aturan yang berlaku di tempat yang dirinya kunjungi. Jika wisatawan, dirinya hanya perduli dengan tempat tujuan tanpa mempublikasikan apa yang dirinya dapatkan selama perjalanan. Petualang lebih santai dalam melakukan perjalanan ketimbang wisatawan yang cenderung tergesa-gesa. Berpetualang dijadikan sebuah pekerjaan oleh sebagian orang, namun berwisata hanya menjadi rentetan kegiatan bagi orang-orang yang penat akan pekerjaan sehari-hari.
Nah, behubung saya adalah wisatawan maka kali ini saya akan membagikan pengalaman saya berwisata di sekitaran gunung kawi guys...
Perjalanan kali ini sangat lancar dari perjalanan-perjalanan sebelumnya. Karena perjalanan ini sudah direncanakan dan dipersiapkan dengan matang. Terlebih saya tidak sendiri, saya bersama dengan seorang teman yang akhirnya mau ikut. Agus Darma Putra sang petualang muda asal Lombok yang katanya sedang tertimpa kepenatan yang luar biasa. Lagipula ini adalah perjalanan kedua saya bersama dia setelah dulu pernah berpetualang di Masjid Turen.
Setelah melakukan diskusi sambil ngopi, kami memutuskan untuk berangkat hari Minggu. Mengapa? Karena ini perjalanan pertama menjelajah daerah Kawi, jadi memilih hari yang di mana ramai pengunjung. Kami tidak akan nekad berpetualang sendiri saat sedang sepi. Ingat, berani itu rasional namun nekad itu emosional.
Pukul 11.00 WIB kami memulai perjalanan dari Malang. Melewati jalur Blitar, perjalanan saat itu terasa manis karena di kanan-kiri terdapat perkebunan tebu. Cuaca pun sangat mendukung, walaupun matahari sedang terik, namun udara cukup sejuk. Menggunakan motor matic andalan saya, kami meliuk-liuk di jalan yang saat itu bisa dibilang lengang walaupun sedang weekend. Hal itu karena memang jarang orang memilih Blitar sebagai tempat menghabiskan akhir pekan.
Satu jam perjalanan, kami pun disambut oleh gerbang bertuliskan selamat datang. Untuk menuju Pasarean Kawi atau terkenal dengan sebutan Bukit Doa dari gerbang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Motor wajib diparkirkan di sekitar rumah warga yang telah disediakan. Untuk harga loket gerbang pertama kita membayar 3 ribu rupiah per orang. Sementara untuk parkir kendaraan roda dua juga membayar 3 ribu rupiah.
Sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Pasarean Kawi, tidak jarang saya mendengar bahwa di sini merupakan tempat pesugihan. Tapi, kesan yang saya dapatkan jauh dari hal itu. Walaupun di kanan-kiri banyak menjual benda-benda seperti batu akik, keris, dupa, hingga bunga 7 rupa, namun itu adalah karya asli warga sekitar. Mereka berjualan sambil memamerkan buah tangan mereka yang dilakukan sejak dahulu kala oleh leluhur mereka.
Banyak tempat-tempat yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk melakukan dokumentasi. Seperti Klenteng Kawi ini. Wajar karena itu merupakan tempat peribadatan. Selain jalan-jalan saya juga melatih kemampuan fotografi saya yang sudah lama terkubur. Kesempatan ini juga saya manfaatkan untuk menjajal kamera kesayangan saya yang sudah lama mati suri. Karena lama tak dipakai bukannya semakin awet, tetapi membuat beberapa bagian kameranya tidak berfungsi. Kurang lebih satu semester saya menabung untuk memperbaikinya.
Bersebelahan dengan klenteng, terdapat Masjid Agung Iman Sujono. Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul Pasarean Kawi. Salah satunya mengatakan, bahwa ada tokoh bernama Mbah Djugo & Mbah Sujono yang di mana keduanya merupakan orang pertama yang menetapkan kaki Gunung Kawi ini sebagai rumah mereka. Sehingga yang awalnya hutan belantara, berubah menjadi ramai dengan pemukiman warga yang merupakan jamaah dari kedua orang penyebar agama Islam tersebut.
Terkadang kesal juga sih, saat saya membuat foto yang bagus, namun giliran saya difoto hasilnya lebih bagus (ngeblur cuy). Tapi sebagai orang yang menetapkan dirinya sebagai fotografer itu harusnya tidak menjadi masalah. Karena tugasnya memang untuk memperlakukan model, bukan diperlakukan sebagai model. Tempat ini merupakan bagian samping dari Masjid Sujono. Tempatnya sangat asri, sejuk, dan airnya sangat dingin. Saya yang setengah mengantuk saat itu, langsung melek lagi.
Di bumi perkemahan ini, saya cukup takjub saat menemukan pohon yang sangat besar. Terlebih lagi di kaki pohon bersandar patung Budha lengkap dengan dupa persembahan. Awalnya, sempat terbersit keinginan untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, sayang sekali sudah menempuh perjalanan yang cukup ekstrim tetapi tidak ada dokumentasinya. Jadi, saya memberanikan diri untuk berhenti sejenak. Hanya suara daun jatuh, ranting patah, dan sesekali suara burung yang menemani kami saat itu. Saat mencari informasi di google, sepertinya belum ada yang mengulas tentang tempat ini secara lengkap. Hanya sebatas Coban Baung saja. Oh iya, jangan khawatir karena walaupun berada di kaki gunung tempat ini masih terjangkau sinyal 3G (saya menggunakan telkomsel). Jika hanya untuk berkirim pesan maka tidak akan ada masalah. Hamparan tanah di sekitar pohon ditutupi oleh semak belukar. Menutupi jalan setapak yang dapat digunakan untuk mendaki Gunung Kawi. Namun sepertinya itu dikarenakan sudah lama sekali tempat ini tidak terjamah pengunjung. Kecuali warga sekitar yang memiliki kegiatan berkebun.
Perjalanan kali ini sangat lancar dari perjalanan-perjalanan sebelumnya. Karena perjalanan ini sudah direncanakan dan dipersiapkan dengan matang. Terlebih saya tidak sendiri, saya bersama dengan seorang teman yang akhirnya mau ikut. Agus Darma Putra sang petualang muda asal Lombok yang katanya sedang tertimpa kepenatan yang luar biasa. Lagipula ini adalah perjalanan kedua saya bersama dia setelah dulu pernah berpetualang di Masjid Turen.
Setelah melakukan diskusi sambil ngopi, kami memutuskan untuk berangkat hari Minggu. Mengapa? Karena ini perjalanan pertama menjelajah daerah Kawi, jadi memilih hari yang di mana ramai pengunjung. Kami tidak akan nekad berpetualang sendiri saat sedang sepi. Ingat, berani itu rasional namun nekad itu emosional.
Pukul 11.00 WIB kami memulai perjalanan dari Malang. Melewati jalur Blitar, perjalanan saat itu terasa manis karena di kanan-kiri terdapat perkebunan tebu. Cuaca pun sangat mendukung, walaupun matahari sedang terik, namun udara cukup sejuk. Menggunakan motor matic andalan saya, kami meliuk-liuk di jalan yang saat itu bisa dibilang lengang walaupun sedang weekend. Hal itu karena memang jarang orang memilih Blitar sebagai tempat menghabiskan akhir pekan.
Satu jam perjalanan, kami pun disambut oleh gerbang bertuliskan selamat datang. Untuk menuju Pasarean Kawi atau terkenal dengan sebutan Bukit Doa dari gerbang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Motor wajib diparkirkan di sekitar rumah warga yang telah disediakan. Untuk harga loket gerbang pertama kita membayar 3 ribu rupiah per orang. Sementara untuk parkir kendaraan roda dua juga membayar 3 ribu rupiah.
Sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Pasarean Kawi, tidak jarang saya mendengar bahwa di sini merupakan tempat pesugihan. Tapi, kesan yang saya dapatkan jauh dari hal itu. Walaupun di kanan-kiri banyak menjual benda-benda seperti batu akik, keris, dupa, hingga bunga 7 rupa, namun itu adalah karya asli warga sekitar. Mereka berjualan sambil memamerkan buah tangan mereka yang dilakukan sejak dahulu kala oleh leluhur mereka.
Banyak tempat-tempat yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk melakukan dokumentasi. Seperti Klenteng Kawi ini. Wajar karena itu merupakan tempat peribadatan. Selain jalan-jalan saya juga melatih kemampuan fotografi saya yang sudah lama terkubur. Kesempatan ini juga saya manfaatkan untuk menjajal kamera kesayangan saya yang sudah lama mati suri. Karena lama tak dipakai bukannya semakin awet, tetapi membuat beberapa bagian kameranya tidak berfungsi. Kurang lebih satu semester saya menabung untuk memperbaikinya.
Bersebelahan dengan klenteng, terdapat Masjid Agung Iman Sujono. Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul Pasarean Kawi. Salah satunya mengatakan, bahwa ada tokoh bernama Mbah Djugo & Mbah Sujono yang di mana keduanya merupakan orang pertama yang menetapkan kaki Gunung Kawi ini sebagai rumah mereka. Sehingga yang awalnya hutan belantara, berubah menjadi ramai dengan pemukiman warga yang merupakan jamaah dari kedua orang penyebar agama Islam tersebut.
Terkadang kesal juga sih, saat saya membuat foto yang bagus, namun giliran saya difoto hasilnya lebih bagus (ngeblur cuy). Tapi sebagai orang yang menetapkan dirinya sebagai fotografer itu harusnya tidak menjadi masalah. Karena tugasnya memang untuk memperlakukan model, bukan diperlakukan sebagai model. Tempat ini merupakan bagian samping dari Masjid Sujono. Tempatnya sangat asri, sejuk, dan airnya sangat dingin. Saya yang setengah mengantuk saat itu, langsung melek lagi.
======================
"Belum puas dengan apa yang kami dapatkan di Pasarean Kawi, saya dan Agus memutuskan melanjutkan perjalanan lebih dekat ke kaki Gunung Kawi"
Coban Baung ini sempat ramai dimasanya. Namun sekarang cukup sepi karena mungkin lokasinya yang tersembunyi dan mewajibkan pengunjungnya untuk trecking naik turun kurang lebih 15 menit. Kondisi itu cocok untuk seorang petualang bukan wisatawan. Kebetulan saya wisatawan berbasis petualang. Jadi tantangan seperti itu sangat cocok untuk menggerakkan tubuh yang seabad sudah tak berolahraga. Alhasil, napas tersengal-sengal bagai kuda. Astagfirulahalzim.....
Tapi, tidak ada proses yang mengkhianati hasil. Tempatnya sumpah keren bingit cuy. Walaupun hari Minggu, pengunjung pada saat itu hanya kami berdua. Puas banget jadinya kami bermain di sini. Tapi tetap memperhatikan keselamatan. Paling penting adalah menjaga sikap selama di tempat-tempat yang dikunjungi. Seperti di sini, selain tempat wisata juga merupakan tempat yang cukup sakral. Karena air terjun ini berasal dari puncak perut Gunung Kawi. Jadi, walaupun sepi jangan coba-coba berbuat hal-hal yang tidak senonoh yah.
Jika kamu adalah pemburu ketenangan untuk sekadar membaca buku dan ngopi, tempat ini cocok sekali. Tapi, kalau mau minum dan makan harus membawanya dari luar yah guys. karena selama perjalanan ke sini tidak ada penjual seperti di tempat wisata lain. Namun, bagus juga karena kami tidak menemukan sampah berserakan di tempat ini. Harga masuknya juga murah, cukup mengorbankan uang 3 ribu rupiah, sudah bisa menikmati keindahan tersembunyi ini. Oh iya, ada biaya kalau membawa kendaraan. Roda dua dikenakan tarif 3 ribu rupiah.
====================
"Berlawanan arah dari air terjun Baung, terdapat bumi perkemahan Bulu Payung (kalau tdak salah). Tempatnya tidak kalah keren dan rada menyeramkan sih"
=====================
"Selanjutnya kami hijrah ke Precet Forest Park. Tempat ini dinobatkan sebagai taman nasional karena merupakan jalan masuk untuk mendaki Gunung Kawi"
Ditempat ini kami memutuskan untuk beristirahat setelah seharian menjelajah. Menikmati senja, meminum kopi hitam, menyesap asinnya kripik singkong.
Sebagai bentuk apresiasi pada blog ini, bagi siapapun yang membaca mohon meninggalkan jejak di kolom komentar. Bisa berupa kritik, saran, atau rujukan ke mana lagi saya bisa berwisata sekaligus berpetualang.
"Terima Kasih"
(Bagi yang belum menonton, di bawah saya sajikan video dokumentasi perjalanan)
Sebagai bentuk apresiasi pada blog ini, bagi siapapun yang membaca mohon meninggalkan jejak di kolom komentar. Bisa berupa kritik, saran, atau rujukan ke mana lagi saya bisa berwisata sekaligus berpetualang.
"Terima Kasih"
(Bagi yang belum menonton, di bawah saya sajikan video dokumentasi perjalanan)
Komentar