Alam sedang Berbicara


Assalamualaikum,

Pertama, mari kita berdoa bersama-sama untuk para saudara kita di Lombok agar diberikan kekuatan. Kedua, maafkan bila baru muncul lagi di blog ini, maklum mahasiswa S2 tingkat akhir lagi sibuk-sibuknya nih. Ketiga, jangan lupa memberikan komentar apapun agar blog ini dapat selalu berbenah.


=======================

Oke, sekarang masuk ke cerita inti. Apasih maksud dari judul "Alam sedang Berbicara"? Jadi begini, beberapa waktu yang lalu saya sangat sering mengunjungi tempat berbeda. Tempat-tempat yang saya kunjungi pun merupakan tempat yang menawarkan panorama alam. Setiap tempat itu saya selalu melihat berbagai tingkah laku manusia terhadap alam yang ditumpanginya. Ada yang menghormatinya, ada yang peduli padanya, ada yang merawatnya, namun juga ada yang berbuat kejam padanya. 

Manusia memang makhluk yang paling berbeda di dunia. Kita diberikan berbagai fitur sehingga mampu menjadi penghuni bumi yang sempurna. Namun, kelebihan membuat kita lupa. Lupa pada binatang, lupa pada udara, lupa pada alam. Kita lupa jika mereka juga makhluk yang hidup, makhluk yang walaupun diam tetapi menyimpan suara yang terpendam. Ketika mereka berbicara maka kita baru menyadari kehadiran mereka. Ya, hanya saat bencana tiba kita baru sadar bahwa alam ini hidup. Alam ini berbicara.

Karena alam ini sedang berbicara maka saya, Agus, dan Nisa mencoba untuk mendengarkannya. Kami bertiga ingin berteman dengan alam untuk sekali lagi. Lalu kami memutuskan untuk menikmati pagi di luasnya hamparan kebun teh Wonosari.

Kenapa memilih kebun teh ini? sebenarnya kami bertiga awalnya berniat menaklukkan bukit Budug Asu. Hanya saja kami memilih jalur yang salah, sehingga sedikit melipir ke tempat yang tidak kalah keren. Untuk masuk ke kawasan ini pada saat weekend harus siapkan uang di atas 50 ribu yah. Karena memang pada saat musim liburan harga tiket masuk akan bertambah 2x lipat dari hari biasa. Pengunjungnya juga jadi sangat ramai, mulai dari warga lokal hingga internasional. Kami beberapa kali berpapasan dengan rombongan turis.

Sebelum sadar bahwa kami salah arah, kami sedikit tidak menikmati perjalanan karena buru-buru. Kami hanya jalan masing-masing tanpa menghormati sebuah kebersamaan. Hal itu sangat tidak baik untuk dilakukan, apalagi bila ada perempuan di dalam tim. Etikanya, persilahkan perempuan yang berjalan di depan agar yang laki-laki bisa mengikuti rima langkahnya dan tidak saling meninggalkan. Oke, dan kami berjalan menyusuri jalan beraspal dahulu sebelum jalan setapak.

Yaps, benar. Setelah masuk jalan setapak, perjalanan tidak lagi seindah pemandangannya. Debu berterbangan dikarenakan kendaraan yang lewat. Salah dalam memilih sepatu juga menyusahkan saya menaklukkan jalan tanah berpasir itu. Beberapa kali saya hampir tergelincir. Hal yang sama juga dirasakan oleh Agus dan Nisa. Terlebih Nisa yang cukup lelah karena berusaha mengejar kami yang berjalan terlalu cepat dan cukup sering meninggalkannya jauh di belakang. Maafkan kami ya cuk. Ngga lagi kok. Kami sudah sadar.


Lagi-lagi, proses tidak pernah mengkhianati hasil guys. Rintangan demi rintangan yang kami temui akhirnya memberikan ganjarannya. Ya, tidak sampai di Bukit Budug Asu kami menemukan Bukit Kuneer yang ternyata juga sangat indah. Hamparan hijau kebun teh benar-benar mengembalikan semangat kami yang hampir pupus. Jangan takut untuk berpeluh untuk sampai ke sini. Fasilitas yang disediakan sudah lengkap. Warung, toilet, mushola, ada semua.


Jika mau berjalan sedikit menanjak lagi, maka akan menemukan batu besar di tengah-tengah kebun teh yang instragmable banget

Jika tidak tertutup kabut, kita bisa melihat kontrasnya perumahan padat yang dikelilingi oleh banyak gunung di Malang


Dari perjalanan ini kami mengerti bahwa alam sedang tidak diam-diam saja.
Alam sedang berbicara.
Pilihannya tergantung kita mau mendengarkan atau tidak.
Mau berkawan atau bermusuhan.

TERIMA KASIH







Komentar

Postingan populer dari blog ini

JUMAWA: Jurnal Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia (Volume 1)

Photoshop: Memanipulasi Tanda Tangan

Taj Mahal versi Kabupaten Malang: Serupa Tapi Tak Sama