CERPENKU #1
HARI TERAKHIR ANISA
Di bawah
awan berarak, diterangi sang surya, Anisa memacu motor matic-nya. Terkadang suara klakson kendaraan lain mengagetkannya.
Terkadang dia menyumpahi pengendara lain yang tak mau sedikit mengalah, tak mau
sedikit mengerti keadaannya. Anisa sedang dilanda sakit kepala. Tekanan dari
atasan adalah penyebab utamanya. Tentu saja, ada masalah asmara juga.
“Jancuk”
kutuk Anisa pelan.
Pengap
menyergap. Terdengar suara bisik bersahutan dari teman kerja Anisa, berbagi
informasi mengenai artis Korea idola masing-masing. Terjebak khayalan seperti
itu bukan gaya Anisa. Maklum, Anisa adalah mantan aktivis kampus. Anti
melankolia adalah ciri khasnya. Lantunan musik iwan fals menjadi lagu wajibnya.
Baju bergambar siluet Wiji Tukul dan Munir adalah seragamnya.
“Mba Aniiiis”
teriak dari ruangan berdinding kaca.
“Eh, Iya
bu.” balas Anisa dengan nada malas.
Belakangan
Anisa sering menghadap atasannya yang betubuh gempal itu. Produktivitas Anisa
menurun drastis. Tugas utama Anisa adalah menjaring sebanyak-banyaknya pengunjung
untuk datang ke kafenya. Sebuah kafe yang mengusung konsep literasi. Semakin
banyak pengunjung yang nongkrong di kafenya, artinya publikasi Anisa telah
berhasil. Namun, itu tidak terjadi belakangan ini. Kafenya sepi. Padahal sudah
berkonsep ala-ala yang sedang tren.
“Kamu sakit,
kok pucat?” tegur atasannya setelah menyeruput segelas teh hijau.
“Nggak bu”
sahut Anisa datar.
Setiap kali
berhadapan dengan atasannya, Anisa selalu menunduk. Dirinya pun heran. Apakah
karena kedudukan mereka yang berbeda? Atau karena wajah atasan yang memang
memuakkan untuk dipandang? Anisa hanya tertunduk dan sesekali mengagguk. Dulu,
dirinya seorang pemberontak namun sekarang hanya bawahan yang tak bisa menolak.
“Minggu ini,
kamu ngapain aja?” tanya perempuan paruh baya itu sambil memandang layar
komputer.
“Banyak pengunjung
lebih memilih nongkrong di luar Bu daripada di sini. Mereka bilang kalo di sini
terus bosan”.
“Ya kamu
pikirkan dong, caranya supaya tempat kita bisa menjadi lebih menarik. Katanya
mantan aktivis, tapi narik massa ngga mampu”.
Anisa
menahan napasnya, menahan emosi. Untuk sekarang Anisa hanya bisa menunduk,
mengangguk, dan mengutuk. Dia dimarahi lagi dengan kalimat yang hampir sama
setiap minggunya. Dua bulan terakhir kinerja Anisa sangat buruk. Otaknya seakan
berhenti bekerja untuk menyuplai ide kreatif publikasi.
“Anisa! Kamu
dengar saya, nggak sih?”
“I...iya,
Bu.” Anisa tersentak dari lamunannya.
Atasannya
yang biasa disapa Mami Ros kembali menyerangnya dengan omelan. Anisa kembali
mengingat masa lalu betapa beraninya dia dulu melawan para oknum. Oknum yang
lebih bengis daripada atasannya. Oknum yang rela membunuh siapapun yang
menghalangi tujuannya. Anisa sang Singa Betina, begitu dia dulu dijuluki.
Keberaniannya terkadang mengalahkan para lelaki.
Tak terasa
waktu istirahat tiba. Satu jam lamanya Anisa mendengar sabda sang atasan.
Perutnya lapar, tenggorokannya terasa gersang. Di dapur karyawan, Anisa makan
dengan lesu. Seolah perutnya kenyang akan omelan Mami Ros. Dia tidak sendiri,
ada Hany, Sabrina, dan juga Ryan. Anisa tidak pernah mau menatap Ryan, pun pria
berkacamata itu selalu salah tingkah bila berhadapan dengan Anisa.
“Tadi
dimrahin lagi sama Mami?” tegur Ryan mencairkan suasana.
“Sudah tahu,
kenapa tanya!” balas Anisa.
Dahulu,
Anisa dan Ryan adalah pasangan kekasih. Anisa jatuh cinta pada kepribadian
Ryan. Selain tampangnya yang cukup tampan, wawasan Ryan yang luas pun menjerat
Anisa ke dalam sebuah rasa bernama cinta. Namun, tidak berlangsung lama.
Berselang setahun, Ryan mengakhiri hubungan. Bukan tanpa alasan, Ryan kembali
menjalin hubungan bersama sang mantan.
“Kalau butuh
bantuan, kami ada di sini.” kembali Ryan membuka pembicaraan.
“Aku sudah
biasa sendiri.” sahut Anisa sambil meninggalkan dapur karyawan.
Malam telah
datang, ketika Anisa tiba di kamar kosnya. Tempat ini adalah surga baginya.
Walaupun seadanya, namun disinilah dia bisa meluapkan segala emosinya.
Menangis, melamun, bahkan bernyanyi di kamar mandi. Semua ia lakukan tanpa
beban, tanpa tekanan. Seberes mencuci dan bebersih diri, Anisa merebahkan
tubuhnya di atas ranjang berderit. Menatap smartphone-nya.
Sepi, hanya beberapa notifikasi dari beberapa aplikasi.
Hidup bagaikan sebuah buku.
Tak pernah melakukan perjalanan, seperti
hanya membaca satu halaman.
Sebuah
status Instaram dari seorang yang
sangat dikenal oleh Anisa. Adalah Rahman, teman kuliah Anisa dulu. Seseorang
yang menurut Anisa sangat menikmati hidup. Bagaimana tidak, pekerjaannya hanya
jalan-jalan kemudian membuat video dokumentasi. Youtuber adalah profesi Rahman. Dulu, Anisa dan Rahman sering menggarap
berbagai proyek perlawanan. Khusus video atau film pendek, akan digarap oleh
Rahman. Anisa yang mengatur konsepnya. Bisa dibilang mereka adalah pasangan
emas.
“Enak yah,
jalan-jalan melulu terus dibayar pula” ketik Anisa d kolom komentar.
“Kamu juga
sok sibuk sekarang, susah diajak ketemuan” balas Rahman seketika.
Bekerja di
kafe bukanlah cita-cita Anisa. Semenjak ayahnya telah tiada, segala impiannya
menjadi pupus. Sebagai anak pertama, dirinya berkewajiban meringankan beban
keluarga. Adik lelakinya yang masih SMA belum bisa mengambil peran sebagai
tulang punggung. Ibunya yang hanya penjahit hanya bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari.
“Malam
Minggu besok kamu ada waktu?” tanya Rahman masih di kolom komentar.
“Aku kerja
full tuh, tapi kalau mau ketemu aku rela bolos kok”
“Pas, kamu
masih di kos yang dulu kan, habis Magrib aku jemput”.
Anisa kuliah
di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Memiliki cita-cita menjadi penulis.
Cita-cita yang terdengar kurang tinggi. Namun baginya menulis adalah hal yang
sakral, sebuah ibadah. Membagikan buah pikiran kepada khalayak, membuka wawasan
untuk masyarakat. Anisa memiliki blog, menjadikannya tempat mencurahkan
pikiran. Sesekali Anisa membuat cerpen dan terpublis di koran lokal. Uangnya,
bisa dipakai untuk sekadar membeli mie instan untuk sebulan.
Percayalah, lebih mudah menuruni bukit terjal
Daripada menuruni berat badan
Kembali
Anisa membaca status Instagram Rahman.
Sambil mencubit perutnya yang tertumpuk lemak, Anisa merasa tersindir.
Menurutnya, Rahman selalu menulis status yang terkorelasi dengan hidupnya.
Entah itu tentang pekerjaan, atau tentang problema kehidupan. Itulah menjadikan
Rahman satu-satunya teman Instagram yang
selalu ditunggu Anisa unggahannya.
Matahari
sudah tinggi, Anisa baru saja selesai mandi. Setengah jam lagi harus hadir di
rapat karyawan kafe. Dua minggu sekali Mami Ros melakukan rapat untuk
mengevaluasi pekerjaan. Di rapat itu juga Anisa wajib menawarkan konsep
publikasi. Dia sudah siap dimarahi lagi hari ini. Anisa tidak mengantongi
rancangan apapun untuk dipresentasi.
Kau lebih kuat dari yang kau kira. Kau
istimewa.
Kau dilahirkan untuk bernapas dengan
kebebasan.
Tersenyumlah!
Sejenak
Anisa tersenyum setelah membacanya. Seolah status Rahman menjadi sumber
penyemangat, sejenis obat kuat. Setelah beberapa saat, Anisa tiba di dean pintu
ruang rapat. Semua sudah hadir, semua menyapa Anisa kecuali Mami Ros. Perempuan
itu hanya manatap layar laptopnya. Salam Anisa pun tak mampu mebuatnya
bergeming. Hany memberikan kode kepada
Anisa untuk langsung duduk di sampingnya.
“Sudah lama
ngumpul di sini?” tanya Anisa berbisik.
“Belum sih,
baru sepuluh menitan.” balas Hany berbisik pula.
Ruang rapat
ini tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung mereka berlima. Di atas
meja kayu berdiri kokoh bunga mawar sintetis. Aroma jeruk nipis menyeruak
memenuhi ruangan 3x4 meter tersebut. Tersedia sebuah proyektor yang digunakan
Mami Ros menampilkan catatan evaluasinya. Biasa juga digunakan Anisa untuk
mempresentasikan konsepnya.
“Mba Anis,
silahkan presentasikan konsep untuk bulan depan” ucap Mami Ros memecahkan
keheningan.
“Ehm, begini
bu. Saya belum menemukan konsep yang....”
“Kamu
bagaiaman sih, bulan depan itu ulang tahun pertama kafe kita” sambut Mami Ros
tanpa memberikan kesempatan Anisa menyelesaikan penjelasannya.
Tatapan Mami
Ros tampak nanar pada wajah Anisa. Butuh beberapa menit bagi dirinya untuk
menenangkan emosinya. Ia mencopot kacamatanya lalu memijit pelipisnya yang
tampak berurat. Sesekali terdengar hembusan napas yang berat. Mami Rose seperti
bom waktu yang siap meledak. Menghancurkan suasana hening menjadi penuh caci
dan maki. Meluluhlantakkan setiap orang dengan amarah yang membara.
“Anisa, kamu
saya pecat” ucapnya pelan.
“Tapi, Bu,
saya beri saya waktu lagi!”
“Sudah
cukup, yang kamu butuhkan bukan waktu tapi pekerjaan baru” tutup Mami Ros
sambil berkemas dan meninggalkan ruang rapat dengan langkah yang berat.
Ini adalah
hari Senin, yang sebagian orang menganggap sebagai hari penuh siksaan. Lalu
bagi Anisa, hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Rasa panas menyergap
kepalanya. Jantungnya berdegub kencang bagai genderang mau perang. Dirinya
hanya siap menerima omelan sang atasan, bukan berita pemecatan. Satu-persatu
teman kerjanya menyalaminya tanda prihatin. Termasuk Ryan, orang yang Anisa
anggap sebagai salah satu penyebab kehancuran hidupnya.
Dengan Bismillah, semua menjadi Insya Allah
Langit sedang
sendu ketika Anisa duduk di salah satu warung dekat kafe. Batinnya kembali
tertohok oleh status yang ditulis Rahman lima menit yang lalu. Seingatnya,
sangat jarang dirinya mengawali sebuah kegiatan dengan mambaca basmalah. Benar
saja, semua pasti berbuntut masalah. Lalu, teringat janjinya akan menemui
Rahman malam Minggu nanti.
“Aku sudah
di depan kosmu” suara Rahman dari balik smartphone
Anisa.
“Oke,
sebentar yah” respon Anisa semangat.
Malam Minggu
pertama Anisa keluar bersama pria setelah lama putus dari Ryan. Menggunakan
jaket levis ala Dilan, Rahman melaju menembus kemacetan. Wangi parfum pria
berkacamata itu seolah menghipnotis Anisa untuk betah bersandar di pundak
Rahman. Setelah lama beradu dengan debu jalanan, mereka berdua berhenti di
salah satu cafe yang berada di puncak.
“Sering ke
sini?” tanya Rahman seraya melepas helm.
“Boro-boro
Man, bisa ke Indomaret aja sudah senang” balas Anisa dan disambut tawa lepas
oleh Rahman.
Anisa tak
pernah menyangka, hari terakirnya bekerja sekaligus menjadi hari pertamanya
merengkuh bahagia. Rahman menyatakan perasaannya yang telah bersemayam lama
sejak mereka kuliah dulu. Tanpa gombalan romantis, tanpa mengumbar janji manis.
“Anisa, aku
suka kamu”
Komentar